Oleh : Indah
Hikmayanti
Aku
mengerutkan kening saat warna kuning memasuki lensa mataku. Gemuruh ombak
bersahut – sahutan mengiringi burung – burung dari pulau seberang menuju pulau
sebelah barat yang teduh. Langit tidak lagi gelap atau berwarna biru tua,
warnanya memendarkan siluet yang terang kesegala penjuru barat. Bulan pucat
pasi masih terlihat seolah – seolah berada diatas gunung pulau seberang.
Suasana pantai yang masih terlihat lengang. Beberapa nelayan mengangkut
keranjang – keranjang berisi ikan hasil tangkapan dari kapal yang menepi ke
tempat pelelangan yang tak jauh dari pantai. Sedangkan kapal – kapal lainnya
masih berada di tengah – tengah selat. Angin pagi menyapa dengan lembut,
menebarkan aroma sebuah kenangan yang telah lalu kemudian hadir kembali. Lelaki
tinggi, berkulit sawo matang dan berambut lurus kusut berdiri disampingku
memainkan kaki kanannya dengan ombak yang berlari ketepi. Kedua tangannya
dimasukkan ke dalam kantung celana pendeknya. “Sayu,masih ingat pepatah, jangan
mengukir nama diatas pasir karena pasti akan terhapus ombak?” tanya Bayu. Bayu,
begitu laki – laki itu dipanggil. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Sesekali dia tersenyum sumringah. Melihat bibirnya yang melebar itu, aku kembali
ke waktu dua tahun yang lalu.
* * *
Bayu
membuka matanya perlahan saat alarm dari telepon genggamnya berdering. Dia
meraba – raba bantal dan gulingnya yang masih berantakan untuk mencari dimana
telepon genggamnya berada. Kamar kosnya masih terlihat gelap, tidak ada
sedikitpun cahaya yang masuk ke dalam ruangan berukuran tiga kali dua setengah
meter itu. Bahkan ruangan itu hanya terdiri dari empat ventilasi kecil, jendela
dengan ukuran satu setengah kali satu meter dan pintu berwarna coklat.
Bayu
menggeliatkan badannya yang terasa pegal. Kepalanya terasa sangat berat sekali
untuk digerakkan. Sebenarnya dia masih enggan untuk beranjak dari tempat
tidurnya yang menurutnya sudah sangat nyaman. Dia mengejang – ngejangkan kedua
kakinya. Dia masih meraba – raba dan mencari – cari dimana telepon genggamnya.
“Ah
ketemu,” kata Bayu lirih dengan suara yang masih serak. Dia menemukannya
dibawah bantal yang dia gunakan untuk alas kepalanya sendiri. Dia melihat ada
sepuluh pesan masuk dan dua puluh missedcall.
Enam pesannya dari seseorang bernama “My Darl”, dua pesannya dari seseorang
yang ia beri nama “My Mom” dan duanya lagi dari seseorang bernama “Liana”. Dia
membuka pesan dari “My Darl” terlebih dahulu,
Sayang, jangan
lupa, jam sepuluh ajarin aku statistika. Besok aku kuis, aku tidak bisa statistika
sama sekali. Aku tunggu di kos.
Keenam
pesan dari sesorang yang bernama “My Darl” itu sama. Bayu hanya bisa tersenyum.
Kebiasaannya selalu mengirim pesan sama dengan jumlah banyak. Kemudian dia
membuka pesan dari seseorang bernama “Liana”
Mas Bay, aku di Malang
nih. Aku tidak tahu mau kemana. Kamu dimana mas ?
Dan
dibacanya lagi pesan dari “Liana”
Mas Bay pliiss, aku tidak
tahu jalan disini…
Bayu
agak terkejut membaca pesan dari Liana. Matanya yang tadinya terasa sangat
lengket kini mulai terbelalak. Dia mulai bangun dari tidurnya. Liana ada di
Malang ? Untuk apa ? pikir Bayu sambil mengetik sebuah pesan balasan untuk
Liana.
Untuk apa ke Malang, Li
?
Kemudian
dia membuka dua pesan yang sama dari “My Mom” ,
Bay, Liana di
Malang sekarang. Tadi mamanya Liana sms mama, katanya dari semalam Liana tidak bisa dihubungi. Setelah mama sms Liana,
ternyata Liana berada di Malang. Daritadi dia sms kamu tapi kamu tidak
membalasnya.
Sebenarnya
untuk apa Liana ke Malang ? Bayu bertanya – tanya. Bayu segera meletakkan
telepon genggamnya di meja dan membuka pintu kamarnya. Dia memicingkan mata
ketika cahaya terang memasuki lensa matanya. Dia segera berlari ke kamar mandi
yang terletak setelah dua kamar dari kamarnya.
*
* *
Pukul sepuluh
tepat Bayu tiba di kos Sayu yang berjarak tiga kilometer dari kosnya. Dia
mengendarai sepeda bebeknya dengan kecepatan konstan. Enam puluh kilometer per jam.
Bagi Sayu kecepatan enam puluh kilometer per jam sama saja dengan bunuh diri.
Sayu tidak terbiasa dengan kecepatan yang menurutnya ugal – ugalan seperti itu.
Dicengkeramnya bahu Bayu bila melakukan hal itu dan Bayu sudah sangat mengerti
apa yang Sayu takuti, terpaksa dia harus menurunkan kecepatannya.
Mereka menuju
tempat futsal yang disampingnya dilengkapi dengan café berwifi di daerah
Soekarno-Hatta. Dalam perjalanan menuju café,
Bayu memikirkan dimana Liana sekarang ? Bagaimana bisa Liana pergi ke Malang
tanpa sepengetahuan orang tuanya ? Sebenarnya dia ada masalah apa hingga berani
pergi ke Malang sendiri ? Dia masih tidak mengerti saja kenapa Liana senekat
itu.
Mereka duduk di
bangku tepat menghadap lapangan futsal. Lapangan sudah dipenuhi dengan anak –
anak SMP yang saling berebut bola sambil terengah – engah. Café wifinya pun mulai
dipenuhi dengan mereka – mereka yang duduk memandangi laptop, begitu pula Sayu
yang sibuk membrowsing data
statistika yang sama sekali tidak ia mengerti. Bayu menjelaskan kepada Sayu
tentang rumus – rumus statistika dasar dan memberikan latihan soal kepadanya.
Sayupun dengan seriusnya mengerjakan latihan soal yang diberikan Bayu, dia
memilah – milah soal yang mana dulu yang menurutnya sangat mudah untuk
dikerjakan., sementara Bayu sibuk membalas pesan Liana dan mamanya.
“Aku pusing nih
sayang,”kata Bayu tiba – tiba.
“Pusing kenapa
sayang ?” Tanya Sayu.
“Adikku kabur.”
“Dek Ana ?”
“Bukan, adik
sepupuku,Liana. Ana sih baik – saja dirumah.”
“Liana yang
pernah chat aku di facebook bukan ?”
“Iya benar.
Sekarang dia ada di Malang, orang tuanya tidak tahu jika dia di kota ini
sekarang. Dia ada masalah dengan pacarnya, makanya sampai nekat kesini. Padahal
dia belum pernah kesini.”
“Lalu bagaimana
dengan keadaannya sekarang ? Dia akan tidur dimana nanti ? Kok sampai senekat
itu ya ?”
“Aku tidak tahu
sekarang dia dimana. Barusan aku sms tapi tidak dibalasnya. Sudahlah, terserah
dia mau kemana.”
Sayu hanya
mengangguk dan meneruskan pekerjaannya. Sesekali dia memandangi Bayu. Wajah
Bayu seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia mulai merokok. Padahal, dari awal
mereka pacaran Sayu melarang Bayu untuk merokok dan Bayu memutuskan untuk tidak
merokok kecuali ketika dia sedang ada masalah. Kini Sayu bertanya – tanya dalam
hatinya. Tetapi dia tidak berani untuk menanyakan langsung kepada Bayu.
Hari ini Bayu
sudah berjanji kepada Sayu untuk menemaninya seharian dari pagi hingga malam.
Bayu rela melakukan apa saja untuk kekasih tercintanya itu, termasuk
menemaninya ke mall, padahal mall adalah tempat yang Bayu benci. Bayu sangat
tidak suka dengan keramaian. Tetapi, dia tidak ingin Sayu kecewa sedikitpun.
Walau matanya memerah dan kakinya terasa pegal, dia tetap tersenyum menemani
Sayu kemanapun Sayu mau.
Malamnya, Sayu mengajak Bayu ke tempat
favoritnya, Alun – alun Batu. Suasana alun- alun sudah mulai sepi, karena waktu
sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Penjaga kebunpun mulai menyiram
tanaman – tanaman di sekitar alun – alun. Muda – mudi itu mulai keluar dari
area alun – alun. Pedagang yang berada di sekitar alun – alunpun mengemasi
barang – barang dagangannya. Air mancur ditengah – tengah taman alun – alun
itupun mulai dimatikan. Hanya saja, merkuri masih menemani mereka. Langit
gelap, bahkan tidak ada satupun bintang. Ada sesuatu yang menggeliat di otak
Sayu sejak tadi pagi. Liana. Dan masih tentang Liana.
Sayu berkata
dalam temaram, ditemani angin malam yang semakin dingin,”Sayang, jika kamu
sangat cepat melupakannya, akankah kamu juga secepat itu melupakanku jika aku
menjadi masa lalumu nanti ?”
Bayu sedikit
terkejut dengan pertanyaan Sayu. Dia menatap Sayu dalam dan menjawab,”Kamu
bukanlah masa laluku dan tidak akan pernah menjadi masa laluku. Kamu ada di
masa sekarang dan depanku.”
“Tapi sayang,
seandainya aku sudah menjadi masa lalumu apa kamu masih mau bertemu denganku ?”
tanya Sayu lagi.
“Kita diciptakan
untuk satu, tidak untuk saling menjadi masa lalu,”kata Bayu sambil menggenggam
tangan Sayu erat dan memandangnya dalam. ”Aku tidak akan membiarkanmu
menangis.”
“Aku tidak akan
menangis jika tidak karena suatu hal yang penting. Aku dididik untuk menjadi
wanita yang kuat,” kata Sayu sambil tersenyum manis. Senyumannya membuat Bayu
tenang dan ingin memandang wajah Sayu yang pualam.
*
* *
Berkali – kali
Sayu memandangi telepon genggamnya dan berharap ada satu pesan masuk dari Bayu.
Hari ini Bayu sudah berjanji akan menemaninya ke toko buku dan pergi makan
dengannya. Tetapi Bayu masih belum membalas pesan dari Sayu.
Kemudian sebuah pesan dari Bayupun
masuk ke telepon genggam Sayu. Dengan semangatnya dan bibir yang sumringah,
Sayu membuka pesan dari kekasihnya itu.
Sayang maaf sekali, aku tidak bisa menemanimu hari
ini, karena mama dan papa tiba – tiba saja datang ke Malang. Aku harus menemani
mereka, sayang.
Ada sebuah
kekecewaan di hati Sayu. Padahal dia sudah siap untuk berangkat hari ini. Dia
juga telah menyiapkan sebuah buku berjudul “Kisah Lainnya” yang selama ini Bayu
inginkan. Dia akan memberikan surprise
kepada Bayu. Tapi apalah daya, dia tidak akan bisa membantah jika sudah
menyangkut soal orang tua. Dia tidak boleh egois. Orang tuanya lebih penting
dari apapun.
Iya sayang, tidak apa – apa. Mungkin lain waktu
saja. Have a nice day with your family yah sayang…
Seharian itu
pikiran Sayu tiba – tiba saja dirasuki oleh seseorang yang bernama Liana. Entah
apa yang membuatnya tiba – tiba berpikir soal Liana. Sudah sangat sering Bayu
menceritakan tentang adik sepupunya itu. Liana yang suka mengganggunya, Liana
yang mudah akrab dengan siapa saja dan Liana yang hampir setiap hari
kerumahnya. Bahkan Liana yang selalu menjenguknya di rumah saat dia sakit.
Terbersit dipikiran Sayu untuk membuka semua pesan – pesan antara Bayu dan
Liana di facebook. Sangat mudah bagi
Sayu untuk membuka facebook Bayu
karena Bayu memberitahu password-nya.
Dia mendapati pesan Bayu dan Liana setahun yang lalu,
Liana : Sebenarnya,
aku tidak ingin kamu hanya menganggapku sebagai adikmu saja mas Bay.
Bayu : Maksud
kamu ?
Liana : Aku
masih menyayangimu Mas Bay, sama seperti saat kita bersama dulu. Masa SMA itu,
aku tidak akan pernah melupakannya, Mas.
Bayu : Itu masa
lalu. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Sekarang cukup kita menjadi teman. Atau
kakak adik lebih baik.
Liana : Lalu
untuk apa selama ini Mas Bayu seolah – olah mendekati aku lagi ?
Bayu : Kapan ?
Toh kamu sendiri yang sering kerumah. Aku pikir kamu hanya sekedar ingin
bermain dengan Ana.
Liana : Jadi,
Mas Bayu sudah benar – benar tidak sayang lagi denganku ? Mas Bayu sudah lupa
kalau dulu kita pernah janji untuk terus bersama ?
Bayu
: Aku kan sudah bilang, aku tidk mau membahas masa lalu !
Liana
:Ok, mulai detik ini jangan pernah menganggapku ada !
Sayu ingin menitikkan air mata saat
tahu kalau Liana adalah mantan kekasih Bayu. Tapi mengapa selama ini Bayu
mengatakan kalau Liana adalah adik sepuupunya ? Bukankah lebih baik jika dia
mengatakan kalau Liana adalah mantannya yang tempo hari dia ceritakan kepadanya
? Bayu memang pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya saat SMA dulu,
mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun namun tiba – tiba saja kandas
begitu saja, dan Bayu tidak pernah mau mengatakan mengapa hubungannya dengan
Liana yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak keluarga putus begitu saja.
Disisi lain Bayu juga sering bercerita tentang adik sepupunya yang jahil dan
satu – satunya orang yang menjadi tempat curahannya yang ternyata tak lain
adalah Liana. Bayu seolah – seolah menceritakan satu orang ini dengan dua
karakter yang berbeda.
Hari
itu Sayu tahu untuk apa orang tua Bayu datang ke Malang. Tidak lain untuk
mencari Liana. Sayu tidak sengaja membaca sebuah status Liana yang berada di
berandanya,”On the way Tumpang”, dan
sebelumnya Bayu mengatakan kepada Sayu jika dia akan pergi ke rumah neneknya di
Tumpang bersama dengan keluarganya. Apa keluarga yang dia maksud itu juga Liana
? Apa Liana sudah masuk ke dalam daftar keluarganya ? Calon menantu dari
keluarganya ? Begitu ?
*
* *
Menunggu
dan selalu menunggu. Bayu yang dulu selalu ada untuknya kini mulai menjauh
sedikit demi sedikit. Dulu, dia tidak pernah dibiarkannya menunggu oleh Bayu.
Bayu selalu datang tepat waktu menemui dan menjemputnya. Kini dia harus
menunggu selama berjam – jam hanya untuk bertemu dengan Bayu. Bahkan intensitas
pertemuan mereka tidaklah seperti dulu yang hampir setiap hari. Siang itu
sepulang kuliah Bayu berjanji akan menemaninya makan siang dan menjemputnya di
kos seperti biasa. Tidak ada satupun pesan masuk dari Bayu.
Waktu
tidak akan diam begitu saja. Detik pun berlalu, menit enggan kembali lagi,
bahkan jampun seolah semakin berlari. Sayu tertidur dengan perut melilit karena
lapar. Sengaja dia tidak makan terlebih dahulu karena dia pikir akan pergi
makan bersama Bayu. Dia membuka matanya perlahan dan melihat jarum jam yang
sudah menunjukkan pukul enam sore. Bayu kemana ? Apakah dia lupa dengan
janjinya ? Bahkan tidak ada pesan masuk satupun dari dirinya. Dan malam datang
begitu saja. Senja telah usai, sedang Sayu masih bertanya – tanya, dimana Bayu
sekarang ? Mengapa dia tidak menepati janjinya ? Sayu tertidur lagi ditemani
bulan yang sendu hingga pagi menyambutnya lagi, tanpa Bayu.
Sayu
marah dan kecewa. Ingin sekali rasanya mengoyak – ngoyakkan tubuh Bayu. Hal
yang paling dibencinya adalah menunggu dan tidak bisa menepati janji. Dia sama
sekali tidak membalas pesan dari Bayu keesokan harinya. Bayu terus – menerus
meminta maaf kepada Sayu karena tidak bisa menepati janjinya kemarin. Dia lelah
bila terus – menerus menunggu dan pada akhirnya Bayu tidak dapat menepati
janji. Pikirannya mulai melayang kemana – mana. Dan tetap pada satu nama.
Liana. Apa mungkin Bayu bersama Liana ? Ada suatu dorongan lagi untuk melihat
pesan mereka berdua di facebook.
Benar. Tidak salah lagi. Kemarin mereka sempat berbincang – bincang di facebook itu sebabnya mengapa Bayu tidak
membalas pesannya.
Liana : Hai Mas Bay, hehe. Dimana nih ?
Bayu : Di kos aja, Li. Tidak enak badan.
Liana : Mimisan lagi, mas ?
Bayu : Iya.
Liana : Asmanya kambuh tidak ?
Bayu : Iya itu juga. Lagi kosong nih kantongku.
Liana : Ya ampun mas…ya cepat diobatin dong. Apa mau
aku pinjami dulu ?
Bayu : Tidak, Li. Anak – anak kos masih punya hutang
sama aku. Jangan bilang – bilang mama.
Liana : Ya tidak bisa lah mas. Kalau ada apa – apa
sama Mas Bayu bagaimana ? Nanti aku bilang sama tante.
Bayu : Jangan Li !!
Bahkan
Liana tahu jika Bayu sering mimisan ? Dan Bayu tidak pernah mengatakan apapun
tentang penyakitnya kepada Sayu. Bayu juga tidak pernah mengatakan kepada Sayu
kalau dia sering mimisan. Selama mereka pacaran, Bayu tidak pernah bercerita
sedikitpun jika dia kehabisan uang, sakit, atau memiliki masalah dan apapun
itu. Sayu hanya tahu Bayu tidak pernah menolak permintaanya satupun. Sayu
segera menemui Bayu malam itu juga. Dia cemburu. Sangat cemburu. Pikirannya
penuh, dan hatinya tak karuan rasanya. Mengapa Liana sebegitu perhatiannya
kepada Bayu sedangkan dia tidak ? Dan mengapa harus Liana ? Mantan kekasih Bayu
saat SMA.
“Aku tidak pernah benar – benar tahu apa yang
kamu mau, apa yang kamu butuhkan dan apa yang menjadi keluh kesahmu karena kamu
memang tidak pernah memberitahu aku sedikitpun. Tapi kamu menceritakan semua
keluh kesahmu kepada Liana. Lalu kamu anggap aku ini siapa ? Apa selama ini aku
hanya kamu jadikan sebagai status saja ? Dan kamu hanya akan mengatakan,’hey
ini pacarku guys’ kepada teman –
temanmu ? Begitu ? Dan jika aku mengatakan soal Liana, kamu selalu bilang ‘dia
adikku, tidak usahlah kamu cemburu’ ”
Bayu
hanya diam, dia ingin mengusap air mata Sayu yang jatuh begitu saja ke pipinya
yang halus. Dia pernah mengatakan kepada Sayu kalau dia tidak akan membiarkan
Sayu menangis, dia juga tidak ingin Sayu menangis hanya karena dia.
“Aku
ingin menjadi seseorang yang menemani kamu tidak hanya disaat bahagia saja, aku
ingin sedihmu, sakitmu, menjadi milikku juga. Kamu tahu, aku merasa menjadi
orang yang tidak berguna ketika tahu kalau ternyata Liana tahu tentang semua
sedihmu dan semua kesakitan yang selama ini kamu rasakan ? Aku tahu aku
tidaklah seperti Liana yang pernah lama ada dihati kamu, yang bisa mengambil hati
orang tuamu, yang bisa memberi perhatian penuh ke kamu tapi setidaknya aku
punya cara sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang ke kamu. Kamu tahu, aku
takut, kamu dikalahkan oleh kenangan.”
“Liana
memang bukan adikku yang sebenarnya. Dia memang mantanku masa SMA. Tapi itu
dulu. Aku sudah melupakannya jauh sebelum kita pacaran. Sekarang, semuanya
untuk kamu sayang, aku benar – benar menyayangimu. Kamu masa depanku. Walaupun
Liana dekat dengan orang tuaku, tapi aku sudah melupakan semua memori tentang Liana,”kata
Bayu sambil mengusap air mata Sayu. Bayu ingat suatu hal, Sayu pernah berkata
kalau dia tidak akan menangis jika tidak karena hal yang penting. Dan dia
adalah sesuatu yang penting bagi Sayu. Sayu hanya tidak ingin peristiwa satu
tahun yang lalu terulang lagi, yang mana seseorang yang pernah disayanginya
pergi begitu saja dengan mantan kekasihnya.
*
* *
Aku sudah
memiliki tubuhnya, cintanya dan hatinya tapi aku tidak akan pernah tahu keluh
kesahnya dan aku tidak akan pernah tahu kenangan indahnya. Kisah kami seperti
nama yang terukir di pasir pinggir pantai. Terhempas oleh ombak. Bayu
dikalahkan oleh kenangannya. Orang tuanya tetap berpegang teguh agar Bayu
menikahi Liana dengan alasan mereka sudah dekat dengan Liana sejak lama, bahkan
keluarga mereka sudah saling mengetahui. Dan ternyata selama kami berpacaran,
Bayu mengungkapkan semua curahannya kepada Liana, bukan aku. Liana sangat tahu
bagaimana kisah kami, Bayu yang menceritakannya. Aku ingin memberontak, tapi
aku siapa ? Aku bukanlah siapa – siapa dihadapan orang tuanya dan aku tidak
akan pernah tahu apa yang Bayu mau, sedangkan Liana adalah gadis yang mengerti
akan Bayu dan keluarganya. Aku tahu Bayu sangat menyayangiku, bahkan dia sempat
menentang orang tuanya. Tapi kisah kita sudah terukir diatas pasir, dan ketika
ombak menerjang, kita tidak bisa mengelak jika semua yang telah terukir akan
hilang.
Di jari manis
Bayu melingkar sebuah cincin emas putih. Matanya nanar memandng jauh pegunungan
didepan sana. Bahkan kami tidak tahu sekarang harus melangkah menuju masa depan
atau diam ? Dia melangkah mundur pada kenangannya sedangkan aku hanya masa
depannya, lebih tepatnya sebuah mimpinya. Hanya mimpi.
Bayu pun
berkata,”Tubuhku dimiliki oleh Liana tapi hatiku tetap kamu yang memiliki.”