...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

Sample Text

Pages

Sabtu, 20 Desember 2014

Sarjana Itu Sok Pintar. Masa Sih ?


     Ada suatu topik yang sangat ingin saya tulis. Perihal keuntungan dan kerugian menjadi seorang Sarjana dalam keluarga. Sarjana. Hmmm sebagian besar orang menganggap sarjana adalah orang yang intelektual, bermartabat tinggi, memiliki etika sopan santun yang baik, bukan ? Sebagai sarjana, bahkan kita tidak merasakan hal yang demikian yang dipersepsikan oleh orang - orang. Hanya saja, saya akui, kita mendapatkan ilmu lebih banyak dari yang lain.

     Ilmu apakah itu ? Ilmu yang kita dapat tidak hanya ilmu tentang mata kuliah saja. Kita juga mendapatkan ilmu bagaimana caranya mengahadapi dan menanggapi suatu hal / masalah dengan kepala dingin, secara elegant, tidak dengan emosi, tidak dengan gegabah. Kita juga belajar bagaimana caranya melihat suatu hal tidak hanya pada satu sisi saja, melainkan dari berbagai macam sudut pandang. Karena jika kita menghadapi dan menanggapi masalah hanya melihat satu sudut pandang saja, maka kita tidak akan menilai hal - hal lainnya. Padahal, hal - hal lain juga perlu menjadi bahan pertimbangan. Sehingga kita tidak hanya berani menggugat dan menjudge. Kita juga tidak akan stuck hanya dalam satu pikiran dan alasan, dan yang terpenting kita selalu berpikiran positif. Selain itu, dengan kita mempertimbangkan banyak hal dari berbagai macam sudut pandang, akan membuat kita memiliki pikiran dan pandangan yang luas. Kita menjadi lebih bijak tentunya. ^^

     Kita juga diajarkan tentang menyikapi zaman. Betapa tidak, zaman modern ini tentu berbeda dengan zaman orba atau zaman 60an, 70an, 80an. Sudah berubah ! Bahkan wajah dunia pun sudah berubah. Dengan begitu, apakah kita akan menggunakan aturan dan pikiran lama untuk menghadapi zaman yang sudah sangat modern ini ? Jika dimisalkan, apakah negara ini akan menggunakan undang - undang zaman Presiden Habibie ? Sedangkan undang - undang saat ini sudah diamandemen sebanyak empat kali. Sudah barang tentu tidak berlaku, bukan ? Bukan, kita bukannya menjadi orang yang sok modern dan ujung - ujungnya akan dicemooh sok pintar atau bahasa jawanya 'keminter'. Karena memang realitanya saat ini ya seperti itu. Sudah banyak gedung tinggi, ini lebih dari sekedar orde baru ! Dengan kita menyadari perubahan zaman yang sudah lebih modern ini, tentu kita tidak akan berpikiran kuno, bukan ? Dengan begitu, kita akan memiliki pemikiran yang fleksible dan menyesuaikan dengan zaman. Tetapi, bukan berarti kita melupakan identitas bangsa dan nenek moyang. Karena cara berpikir kolot sudah tak berlaku di era ini.

     Selama kita duduk dibangku kuliah, kita juga belajar bagaimana caranya bersosialisasi dengan baik. Selain dengan teman kelas, kita juga tentu memiliki teman organisasi dan teman nongkrong. Di organisasi kita belajar menjadi orang yang bisa memimpin dengan benar, kerja sama, solidaritas, memiliki pendapat teguh dan yang terpenting dengan stressing, it's .... memecahkan masalah dengan kepala dingin, tanpa emosi, apalagi fisik. Dengan teman nongkrong, tentu kita bisa bertukar pikiran tentang hal apa saja. Tidak hanya tentang kuliah saja, melainkan banyak hal seperti pengetahuan umum, wisata, kuliner, dan  lain - lain. Sehingga kita benar - benar memiliki pengetahuan yang super luas. Mungkin bagi sebagian orang awam, untuk apa nongkrong ? Sangat tidak penting. Buang - buang uang. Dan tidak bermanfaat. Untuk apa membicarakan soal wisata, kuliner atau musik ? Yang terpenting kan belajar dan kuliah saja sudah cukup. Pemikiran seperti itu, Totally Wrong ! Salah besar ! Sudah saya katakan, selain mendapatkan ilmu dari mata kuliah, kita juga mendapatkan ilmu dari lingkungan sekitar !

     Kita sebagai sarjana juga diajarkan untuk memanusiakan manusia. Intinya, kita sebagai manusia, siapapun itu dan apapun latar belakang serta profesinya, kita sama saja di Mata Tuhan ! Harga menghargai adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan ini. Jika tidak begitu, mau tidak tinggal di hutan karena tidak bisa hidup berdampingan dengan orang lain dan tak mau menghargai orang lain ?

     Apa yang ada dipikiran kita hanyalah masa depan. Untuk apa kita menoleh kebelakang ? Memang benar kita harus mengambil hikmah atas kejadian yang lalu, tapi tidak harus mengingat - ingatnya terus, bukan ? Itulah sebabnya kita selalu enjoy our life. Life must go on ! think future, not past !

     Memang agak susah menerapkan hal tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak banyak orang yang tahu dan berpikiran tentang hal - hal tersebut, bahkan dalam keluarga sekalipun. Kadang hingga menimbulkan selisih paham. Terkadang apa yang kita bicarakan dan apa yang kita maksud hanyalah kesok pintaran. Padahal apa yang kita bicarakan hanyalah realita yang ada, pemikiran yang lebih modern dan fleksible, namun disalah artikan oleh orang awam. At least,  berakhir padaaaa Talk To My Hand


- Indah Hikma / Corat - Coret Bekas Mahasiswi Sastra-

Selasa, 16 Desember 2014

Mari Bercerita


Seperti yang biasa kau lakukan,
ditengah perbincangan kita.
Tiba - tiba kau terdiam.
Sementara kusibuk menerka apa yang ada dipikiranmu ?

Sesungguhnya berbicara denganmu,
tentang segala hal yang bukan tentang kita.
Mungkin tentang ikan paus di laut ?
Atau mungkin tentang bunga padi di sawah ?

Sungguh bicara denganmu,
tentang segala hal yang bukan tentang kita.
Selalu bisa membuat semua lebih bersahaja.

Malam jangan berlalu,
jangan datang dulu terang.
Telah lama kutunggu.
Kuingin berdua denganmu.

Biar pagi datang,
setelah aku memanggil....
Terang....

-Payung Teduh-

Senin, 15 Desember 2014

Jiwa - Jiwa Tak Bernyawa

Bila jiwa telah terguncang,
Bagaimana aku bisa melawannya ?
Bagaimana aku bisa menertawainya ?
Bila dalam kerisauan aku masih hampa,
Bagaimana aku bisa menari didalamnya ?
Bagaimana aku bisa melenyapkannya ?

Aku bertahan dalam gelap risau dan hampa.
Menunggu kau yang berjalan,
Namun masih sangat jauh untuk mendekatiku.
Lalu aku aku tertegun dalam kesepian yang lama,
Bertahun - tahun,
Menenggelemkanku dalam jiwa - jiwa yang tak benyawa.

Risau aku. Lelah aku.
Oh, jiwaku yang sudah lama mati.
Bangunkan dia. Bangunkan dia dalam fajar yang menyambut pagi....

Indah Hikma
Malang, 15 Desember 2014

Jumat, 14 November 2014

Emosi


Pada bait - bait aku menjadikan diriku sebagai aku.
Darahku adalah emosi yang bertumpah ruah.
Jiwaku adalah racun pekat yang menjalar.
Dia membara. Berani.

Lebih baik aku malu.
Bila raga terbungkam, jiwa yang terbelenggu.
Lebih baik aku mati.
Bila nafas enggan untuk berkata.

Aku. Adalah tubuh dari seorang yang kejam.
Bukan, bukan untuk menancapkan belati pada tubuhmu.
Tapi untuk mengucap.
Sebuah kata yang memang benar adanya.

Aku.
Bukanlah sebuah kemunafikan.

Indah Hikma
Banyuwangi, 14 November 2014


Suatu Pagi


Ada suatu pagi, dalam waktu yang tak pernah mundur.
Kota berawan, langit membiru.
Menenggelamkan jiwa yang tak pernah bersua.
Ke dalam ruang warna,
Yang kemudian masuk ke dalam cerita.
Sebuah kisah yang tak ada ujungnya.
Pagi, saat insan yang haus membelai buai.
Menatap diri penuh dengan tarian rindu.

Indah Hikma
Malang, 13 November 2014

Minggu, 09 November 2014

Pada Siapa Kau Berbicara

Ketika tak ada lagi orang yang bisa kau ajak berbicara,
pada siapa kau mengadu ?
pada siapa kau mengatakan,
bahwa pagi ini penuh dengan kehiruk pikukan,
bahwa pada suatu siang hujan menerjang deras.

Tak ada yang bisa kau pegang tangannya,
tak ada orang yang membelaimu.
Lalu, pada siapa bibir ini akan mengucap ?
pada siapa mata ini menumpahkan sari - sarinya ?
Dan siapa pula yang mau mendengarkannya ?

Indah Hikma
Malang, 9 November 2014

Jumat, 07 November 2014

Antara Gunung dan Laut


Tak ada yang tahu bila aku mencarimu jauh, jauh dan jauh.
Hanya waktu yang tahu aku sedang berkelana.
Aku memang berseteru dengannya.

Lalu aku pergi ke ujung timur dan ke ujung barat.
Dan aku berlari dari ujung utara ke ujung selatan.
Melewati gunung dan laut.
Menepis ombak dan dingin.
Melawan fajar bahkan senja.

Pada waktu kita bertegur sapa dalam suatu siang yang sepoi - sepoi,
Lalu kita bertemu dalam senja dan sesaat setelah hujan.
apakah kita akan bertemu lagi di pinggiran pantai ini ?
atau dibalik gunung itu ?

Kamu. Aku akan mencarimu,
Melewati gunung dan laut,
Saat fajar hingga senja.
Begitu seterusnya, hingga...kita...bersama...


Indah Hikma
Malang, 7 November 2014

Kamis, 30 Oktober 2014

Perjalanan

Hai, senja ! Apa kabar ?
Sudah lama aku tak bersua denganmu.
Kau masih saja sama seperti dulu: bersembunyi.
Memalu. Namun lamat - lamat muncul ketika aku lengang.
Tidakkah kau tahu aku dimana, senja ?
Diatas kereta.
Lama bukan aku tak duduk dibalik jendelanya ?
Ah, dulu aku sering begini.
Ada pokok jati, padi, jagung, tebu.
Lalu terowongan gelap, jalanan melingkar diatasnya.
Sempurna sekali perjalanan kali ini senja.
Bagaimana mungkin aku bisa berpaling bila kau menemani setiap perjalananku ?

Indah Hikma
Probowangi, 28 Oktober 2014


Rabu, 22 Oktober 2014

Fresh Graduate atau Mahasiswa ?

     Sepertinya sudah lama saya tidak memposting cerita di blog kesayangan ini. Sudah lama juga saya tidak berpuisi - puisi ria. Mengingat status saya saat ini adalah seorang alumni dari Jurusan Sastra Inggris Universitas Brawijaya, jadi, yaa beginilah, sibuk menjadi seorang Job Seeker, alhasil lupa dengan tulisan - tulisan saya. Tapi, tentu meskipun saya sudah menjadi alumni dari Sastra Inggris, Sastra is still in my deep heart. Meskipun saya harus mengikuti tes dan interview dari bank satu ke bank lain, dari perusahaan satu ke perusahaan lain, tapi tetap saya tidak akan melupakan ilmu sastra saya yang saya dapatkan selama empat tahun duduk di bangku kuliah, ditambah dengan ilmu sastra bawaan dari ayah. Hehe. 

     Hmmm begini, malam ini saya hanya ingin bercerita - cerita kecil soal menjadi Fresh Graduate atau Job Seeker, Maaf sekali bila postingan kali ini agak sedikit ngelantur. Temanya yang ringan - ringan saja dulu ya. Jujur saya paling tidak suka disebut pengangguran, hina sekali gitu ya kesannya. haha. Lebih baik disebut dengan Job Seeker. Setidaknya kan dengan istilah atau panggilan seperti itu, saya bukanlah pengangguran yang kerjanya cuma makan, tidur, makan, tidur. Mungkin iya sih makan, tidur, makan, tidur tapi tetep buka laptop untuk update lowongan kerja terbaru, ke kantor pos buat ngirim surat lamaran, buka telinga lebar - lebar untuk dengerin lowongan pekerjaan disekitar.

     Menurut saya, menjadi seorang Fresh Graduate atau Job Seeker itu merupakan hal yang sangat melelahkan dan tentu membosankan. Kenapa ? Selain banyak nganggurnya juga, kesabaran dan ketabahan kita juga lagi sedang diuji. Nunggu panggilan interview, setelah interview nunggu panggilan test selanjutnya. Kalau masuk test selanjutnya. Kalau tidak ? Ya sudah, coba yang lain. Kadang, saking pengennya cepet kerja supaya tidak di rumah terus, semua lowongan pekerjaan entah itu enginering kek, accounting ke, dimasukin aja. wahahaha. Sampai - sampai perusahaan - perusahaan tidak jelas pun dimasukin. Hadeuh, memang ya, masa kuliah di Malang itu ngangenin sekali ! entah kenapa masih tidak bisa move on dari Malang. Kota ter-enak, ter-adem, ter-semuanya ada. Topik soal Malang ini nanti saya bicarakan pada postingan selanjutnya saja ya.

     Saya lebih memilih menjadi seorang mahasiswa lagi ketimbang menjadi Job Seeker atau Worker. Hehe. Entahlah, ternyata menjadi seorang mahasiswa itu hal yang peling menyenangkan. Dulu waktu jadi mahasiswa sempat kepikiran untuk cepet - cepet lulus dan kerja. Tapi ternyata, setelah lulus dan wisuda dua bulan yang lalu, saya rasa saya ingin kembali menjadi mahasiswa. Kita hanya perlu memikirkan tugas, main dengan teman - teman seusai kuliah, bercanda di kosan atau kontrakan bareng teman - teman. Tidak pernah sepi lah. Lah ini ? Sempat kepikiran, ini aku hidup di kuburan apa ? garing nya minta ampun. Kita juga harus pisah dengan teman - teman. I lost my part of my breath, it's my friends.

     Jadi, untuk yang masih kuliah, nikmatilah masa - masa kuliah kalian dulu. Yakin deh, masa - masa kuliah itu adalah masa - masa yang paling indaaaaaaahhh. Apalagi di Malang. I miss Malang, I miss my friends there, I miss campus, I miss Sastra, I miss Fakultas Ilmu Budaya, I miss Universitas Brawijaya. 

Rabu, 02 April 2014

Jangan Pura - Pura Tidur


Jangan pura - pura tidur
ketika aku merindumu
yang bersembunyi disela - sela semak - semak.

Jangan pura - pura tidur
ketika aku meratapmu
yang sepi dan bersenda diantara malam.

Jangan pura - pura tidur
ketika aku menyapamu
yang seolah - olah mati dan terkapar.

Jangan pura - pura tidur
ketika aku merayumu
yang kian remuk denganku.

                                  Indah Hikma
                           Malang, 27 Maret 2014

Hujan dan Senja


Aku ingin bersamamu dikala hujan dan senja
bergurau ditepian ranu
yang diam tak beriak.
Melihat wajahmu yang merah : memalu
seperti delima.

Aku ingin bersamamu dikala hujan dan senja
berdialog diatas perahu
yang melaju menyisir pantai.
Mengagumi senyummu yang simpul : memanahku
seperti sabit.

Aku ingin bersamamu dikala hujan dan senja
bersedih di dalam rindu
yang menari diatas resah.
Menatap matamu yang tajam : menusukku
seperti elang.

                                       Indah Hikma
                                  Malang, 28 Maret 2014

Jumat, 28 Maret 2014

Aku Ingin


Aku ingin tidur lama,
hingga laut menjadi surut dan gunung menjadi datar.
Aku tak ingin seperti Chairil Anwar,
Yang ingin hidup seribu tahun lagi.

Aku ingin lelap,
Menerobos zaman
Dan musim.

Aku ingin tenang,
Didalam perut bumi
Yang sepi dan gelap.

Barangkali aku akan lepas
Dari pikiran tentangnya,
Dan menjamah kedamaian abadi
Di dalam tidur lamaku...

                        Indah Hikma
                   Malang, 23 Februari  2014

Kamis, 20 Maret 2014

Antologi Kosong


Aku adalah pujangga yang kehabisan kata,
Tak bisa menulis,
Tak bisa menyair,
Aku adalah pujangga bisu yang tak bisa memuji,
Kertas usang itu,
Hanyalah sebuah antologi kosong.
Baris puisi hanyalah sederet bayangan,
Sedangkan baitnya hanyalah fatamorgana,
Diam tak bersuara adalah nyawaku,
Meskipun harus kututup mata ini,
Tetap tak bersajak.
Aku dan pena ini hanya saksi kebisuan jiwa.
Yang kemudian terbelenggu dalam jerat kegalauan,
Semuanya tak berinspirasi,
Dan harus berapa lama lagi aku mematung ?
Esok atau seratus tahun lagi ?
Atau mungkin aku harus menantikan kau,
Untuk kubuka lembaran antologi kosong ini dengan inspirasi gurat wajahmu …


                                    Indah Hikma
           Tawangalun, Malang - Banyuwangi, 1 Juli 2012


Kamis, 13 Maret 2014

Berdialog dengan Hujan


Hai Hujan,
Apa kabar ?
Sudah lama aku tidak menuliskan sajak tentangmu.
Jangan terang dulu, hujan. Hingga aku selesai menulis.

Hujan,
Dia berjanji untuk kembali.
Semoga saja bukan bualannya seperti yang lalu.
Kemarin, aku sempat terkapar.
Kemudian dia datang, mengatakan untuk kembali.
Dan sekarang, dia mulai membual lagi.

Hujan,
Aku tidak tahu,
Apa harus kukekang dirinya,
Atau kubiarkan saja.

Hujan,
Aku masih mengalami krisis batin.
Antara percaya dan tidak percaya kepadanya.
Tentang janjinya untuk kembali.

Hujan,
Walau dia sudah mengatakan.
Tapi, kemana dia ?
Belum juga datang.

                                                                            
                                           Indah Hikma
                                    Malang, 12 Maret 2014


Rabu, 12 Maret 2014

Rindu Pasir Berbisik


Pasir Berbisik,
Aku rindu senja bersamamu,
Aku rindu suaramu yang menebarkan dingin,
Aku rindu jingga yang tenggelam tertelan malam,
Aku rindu sejukmu memelukku,
Berbisiklah sedikit ditelingaku,
Agar aku bisa merasakan sentuhanmu,
Mengeringkan dahaga yang kurasa selama jauh darimu,
Sentuhlah sedikit telingaku,
Katakan bahwa senja tak selamanya tentang hati yang murung ....

                                                Indah Hikma                                                                                 
                                   Banyuwangi, 29 Agustus 2013

*ini puisi favorit saya. Dia pernah berbisik,"senja tak selamanya tentang hati yang murung"  secara nyata di telinga saya. So in love with you Anantha ....
                                                                                                             

Ibu, Aku Ingin ke Jogjakarta

oleh : Indah Hikmayanti

Matanya kosong menatap langit – langit kamarnya yang penuh dengan sarang laba – laba. Tubuhnya yang semakin hari semakin kurus membentuk sebuah bintang yang besar diatas tempat tidur berseprai kuning. Dia berpikir. Satu persatu dia mencerna apa yang ada dipikirannya. Bahkan dia juga tidak tahu apa saja benda – benda asing yang ada dipikirannya ini. Ribuan bahkan milyaran. Bergelantungan seperti sarang laba – laba yang ada di langit – langit kamarnya.
Tadi pagi sahabatnya mengirimkan pesan. Sahabatnya mengajaknya untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Siapa yang tidak ingin pergi berlibur, ke Jogjakarta pula. Kota yang dia idamkan untuk menjadi kota perantauan selanjutnya setelah Malang. Dia mendambakan Jogja karena di dalam pikirannya Jogja adalah kota budaya. Betapa dia sangat mencintai kesenian dan budaya. Ya, dia sangat ingin menerima tawaran sahabatnya tersebut. Terlebih sang sahabat merayunya dengan tiket murah sudah termasuk biaya makan, transportasi dan penginapan. Siapa yang tidak tertarik ? Untuk berbelanja, masuk tempat – tempat wisata dan biaya – biaya lainnya seperti sakit, biaya emergency dan kemungkinan – kemungkinan lainnya akan lain lagi ceritanya.
Dia menanyakan perihal keinginannya untuk berlibur ke Jogjakarta kepada ibunya.
“Bu, Ana tadi pagi ngajakin liburan ke Jogja,” katanya.
“Terus ? Ikut saja kalau kamu punya uang,”jawabnya ibunya sambil meneguk segelas air putih.
“Belum punya lah, bu,”katanya lagi.
“Berapa ? Dibayarin nggak ?”
:Nggak lah, bu. Mana ada. Tria juga ngajak ke Bandung, katanya kemungkinan delapan ratus.”
“Mahal. Ibu nggak punya uang untuk hal – hal seperti itu. Buat SPP kamu saja masih ngumpulin,”kata ibunya sambil berlalu.
“Tapi ke Jogja cuma seratus enam puluh lima, bu,”kata dia semakin pelan di akhir kalimat karena ibunya berlalu begitu saja tanpa mendengarkan perkataannya.
Dia tahu ibunya sama sekali tidak menyetujui perihal keinginannya untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Pikirannya semakin kalut dan harus bagaimana lagi merayu orang yang paling berjasa dalam hidupnya tersebut ?
Ada rasa yang meluap – luap didalam hatiya. Dia sedikit tidak bernafsu melihat ibunya karena keinginannya tidak dikabulkan. Ini bukan untuk pertama kalinya tapi untuk kesekian kalinya. Dia hidup ditempat yang ia beri nama “Penjara Bebas”. Bagaimana tidak ? Delapan belas tahun lamanya dia terkungkung di rumah saja tanpa diperbolehkan berlibur atau menikmati pemandangan luar sedikitpun. Dia hanya diperbolehkan keluar jika sekedar untuk bersekolah, belajar kelompok, bermain sebentar ke rumah teman atau membeli beras jika ibunya menyuruhnya saja.
Dia masih ingat saat teman – teman sekolahnya sedang gempar – gemparnya bercerita soal study tour ke Jogja dan Malang dengan mengendarai bus pariwisata bersama dengan rombongan guru. Dia hanya diam di pojok kelas sendirian sambil membaca komik. Dia tidak paham apa yang diceritakan oleh teman – temannya tentang Candi Borobudur, Candi Prambanan, Malioboro dan tempat – tempat wisata lainnya di Jogjakarta. Bahkan dia tidak mengetahui tentang Malang. Yang ia tahu hanya Jatim Park, itu pun dia tahu dari saudara sepupunya yang sering berlibur ke Jatim Park dan sering mengajaknya namun selalu ia tolak.
Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk belajar ke luar kota, Malang tempatnya. Itupun jika tidak ada iming – imingan dari tetangga yang bercerita tentang anak – anak mereka yang sukses karena kuliah di luar kota ibunya tidak akan mau. Karena iming – imingan dari tetangga itu lah akhirnya ibunya menyetujui keputusannya untuk kuliah di Malang. Harusnya dia berterima kasih kepada tetangga – tetangganya yang secara tidak langsung membebaskannya dari “Penjara Bebas”. Dia juga tidak tahu jelas apa alasan ibunya tiba – tiba saja menyetujui keputusan untuk kuliah di Malang. Kuliah berbeda dengan liburan yang hanya sehari atau dua hari saja, kuliah memakan waktu sedikitnya empat tahun lamanya. Entah hal itu benar – benar karena keinginan ibunya agar anaknya nanti bisa bekerja lebih baik dari dirinya atau karena tidak mau kalah dengan tetangga – tetangganya ?
Di Malang dia bisa mendapatkan kebebasan yang sebenarnya. Setidaknya jauh berbeda seratus delapan puluh derajat dari hidupnya di “Penjara Bebas”. Hal – hal yang tak pernah ia lakukan di kota kelahirannya dulu, dia lakukan di Malang. Dia bermain kesana kemari bersama teman – teman kuliahnya, berkenalan dengan banyak orang dan mendapatkan pengalaman – pengalaman baru tentang dunia yang ia dapatkan justru ketika tidak berada di rumahnya sendiri. Pikirannya tidak lagi buntu jika ia menginjakkan kaki di Kota Bunga itu.
* * *
Ana, teman kuliahnya pernah menanyakan suatu hal kepadanya.
“Kamu sudah pernah bermain ke kota mana saja, Ta ?” tanya Ana.
“Malang,”jawabnya.
“Sudah jelas la, Ta. Ini kan tempatmu kuliah. Maksudku kota lainnya.”
“Jember, saat aku masih kelas satu SD.”
“Lainnya ?”
“Situbondo dan Probolinggo saat kita magang disana.”
“Surabaya tidak pernah ?”
“Lumayan sering.”
“Kalau Jogja bagaimana ?”
“Tidak pernah.”
Ana terbelalak kaget. Matanya yang lebar terbuka seperti akan mencengkeram dirinya yang duduk tepat di depannya.
“Bagaimana mungkin tidak pernah ? Semua orang pernah kesana. Kamu tidak ingin kesana ?” tanya Ana lagi.
“Ingin sekali. Kudengar dari banyak orang, Jogja itu tempat yang menyenangkan, disana ada banyak pentas – pentas seni dan pameran seni budaya, bukan ? Aku juga sudah pernah melihat Candi Prambanan dan Borobudur dari internet,”jawabnya polos.
“Lebih dari yang kamu tahu dari orang – orang dan internet, Tata.”kata Ana. “Lalu bagaimana dengan Bali ? Kamu tentu sudah pergi kesana, bukan ? Rumahmu kan dekat dengan Pulau Bali.”
“Pernah ke Gilimanuk saat masih TK.”
Ana kembali menepuk jidatnya sendiri. Dia tahu Ana pasti akan mengatakannya anak tidak gaul, anak terkungkung, selalu menolak ajakan teman dan anak yang tidak tahu dunia luar.
Tidak, dia tidak seperti yang Ana pikirkan. Dia sudah sejak lama ingin pergi kesana kemari. Bahkan dia sangat tahu dan paham tentang nasehat – nasehat yang mengatakan ,”Percuma saja kau pintar bila tak tahu dunia luar” atau beberapa hari yang lalu setelah Ana menanyakan ini dan itu, sebuah cerita Soe Hok Gie yang pada akhirnya wafat di Mahameru menjadi perbincangan hangat teman – teman kampusnya atau dosennya yang mengatakan,”Habiskanlan waktu di luar anak muda, jangan hanya berani dikandang.” Ya ! Dia sangat tahu dan teramat sangat paham ! Bahkan dia juga memiliki keinginan besar untuk melanglang buana memeluk Indonesia dan dunia.  Tapi, penghambatnya adalah uang !
* * *
Dia duduk sendiri di teras rumahnya pagi itu. Banyuwangi yang mendung berhari – hari lamanya. Sudah pukul delapan pagi tetapi hari masih seperti pukul enam pagi. Biasanya pukul tujuh pagi saja Banyuwangi sudah panas. Ah sejuknya pagi ini, pikirnya.
Dia memikirkan lagi ajakan Ana untuk pergi ke Jogkarkarta dan penolakan ibunya tentang keinginannya pergi berlibur bersama teman – temannya. Dia berpikir dan terus berpikir hingga kepalanya pening rasanya. Dia tak punya banyak uang seperti teman – temannya yang lain. Dia juga belum bekerja. Kedua orang tuanya saja harus bekerja siang dan malam untuk biaya kuliahnya selama empat tahun ini. Bagaimana mungkin dia akan menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk berlibur ke Singapura selama tiga hari ? Atau empat hari di Bali ? Bagaimana mungkin dia menghabiskan uang ratusan ribu rupiah untuk dua hari di Jogjakarta dan Bandung ? Sedangkan disini kedua orang tuanya semakin keriput, kurus dan penyakitan ?

Di dalam hatinya dia telah memiliki jawaban atas hatinya yang resah selama ini. Dia masuk kedalam kamar yang bercat kuning dan memutar lagu – lagu jazz kesukaannya. Sementara dia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur berseprai kuning. Matanya menatap langit – langit kamar yang penuh dengan sarang laba – laba. Bukankah akan lebih menyenangkan bila kebahagiaan akan terbayarkan setelah adanya kesabaran panjang ?