oleh : Indah Hikmayanti
Matanya kosong menatap langit – langit kamarnya yang
penuh dengan sarang laba – laba. Tubuhnya yang semakin hari semakin kurus
membentuk sebuah bintang yang besar diatas tempat tidur berseprai kuning. Dia
berpikir. Satu persatu dia mencerna apa yang ada dipikirannya. Bahkan dia juga
tidak tahu apa saja benda – benda asing yang ada dipikirannya ini. Ribuan
bahkan milyaran. Bergelantungan seperti sarang laba – laba yang ada di langit –
langit kamarnya.
Tadi pagi sahabatnya mengirimkan pesan. Sahabatnya mengajaknya
untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Siapa yang tidak ingin pergi berlibur, ke
Jogjakarta pula. Kota yang dia idamkan untuk menjadi kota perantauan
selanjutnya setelah Malang. Dia mendambakan Jogja karena di dalam pikirannya
Jogja adalah kota budaya. Betapa dia sangat mencintai kesenian dan budaya. Ya,
dia sangat ingin menerima tawaran sahabatnya tersebut. Terlebih sang sahabat
merayunya dengan tiket murah sudah termasuk biaya makan, transportasi dan
penginapan. Siapa yang tidak tertarik ? Untuk berbelanja, masuk tempat – tempat
wisata dan biaya – biaya lainnya seperti sakit, biaya emergency dan kemungkinan – kemungkinan lainnya akan lain lagi
ceritanya.
Dia menanyakan perihal keinginannya untuk berlibur ke
Jogjakarta kepada ibunya.
“Bu, Ana tadi pagi ngajakin liburan ke Jogja,” katanya.
“Terus ? Ikut saja kalau kamu punya uang,”jawabnya ibunya
sambil meneguk segelas air putih.
“Belum punya lah, bu,”katanya lagi.
“Berapa ? Dibayarin nggak ?”
:Nggak lah, bu. Mana ada. Tria juga ngajak ke Bandung,
katanya kemungkinan delapan ratus.”
“Mahal. Ibu nggak punya uang untuk hal – hal seperti itu.
Buat SPP kamu saja masih ngumpulin,”kata ibunya sambil berlalu.
“Tapi ke Jogja cuma seratus enam puluh lima, bu,”kata dia
semakin pelan di akhir kalimat karena ibunya berlalu begitu saja tanpa
mendengarkan perkataannya.
Dia tahu ibunya sama sekali tidak menyetujui perihal
keinginannya untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Pikirannya semakin kalut dan
harus bagaimana lagi merayu orang yang paling berjasa dalam hidupnya tersebut ?
Ada rasa yang meluap – luap didalam hatiya. Dia sedikit
tidak bernafsu melihat ibunya karena keinginannya tidak dikabulkan. Ini bukan
untuk pertama kalinya tapi untuk kesekian kalinya. Dia hidup ditempat yang ia
beri nama “Penjara Bebas”. Bagaimana tidak ? Delapan belas tahun lamanya dia
terkungkung di rumah saja tanpa diperbolehkan berlibur atau menikmati pemandangan
luar sedikitpun. Dia hanya diperbolehkan keluar jika sekedar untuk bersekolah,
belajar kelompok, bermain sebentar ke rumah teman atau membeli beras jika
ibunya menyuruhnya saja.
Dia masih ingat saat teman – teman sekolahnya sedang
gempar – gemparnya bercerita soal study
tour ke Jogja dan Malang dengan mengendarai bus pariwisata bersama dengan
rombongan guru. Dia hanya diam di pojok kelas sendirian sambil membaca komik.
Dia tidak paham apa yang diceritakan oleh teman – temannya tentang Candi
Borobudur, Candi Prambanan, Malioboro dan tempat – tempat wisata lainnya di
Jogjakarta. Bahkan dia tidak mengetahui tentang Malang. Yang ia tahu hanya Jatim Park, itu pun dia tahu dari
saudara sepupunya yang sering berlibur ke Jatim
Park dan sering mengajaknya namun selalu ia tolak.
Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk belajar ke luar
kota, Malang tempatnya. Itupun jika tidak ada iming – imingan dari tetangga
yang bercerita tentang anak – anak mereka yang sukses karena kuliah di luar
kota ibunya tidak akan mau. Karena iming – imingan dari tetangga itu lah
akhirnya ibunya menyetujui keputusannya untuk kuliah di Malang. Harusnya dia
berterima kasih kepada tetangga – tetangganya yang secara tidak langsung
membebaskannya dari “Penjara Bebas”. Dia juga tidak tahu jelas apa alasan
ibunya tiba – tiba saja menyetujui keputusan untuk kuliah di Malang. Kuliah
berbeda dengan liburan yang hanya sehari atau dua hari saja, kuliah memakan
waktu sedikitnya empat tahun lamanya. Entah hal itu benar – benar karena
keinginan ibunya agar anaknya nanti bisa bekerja lebih baik dari dirinya atau karena
tidak mau kalah dengan tetangga – tetangganya ?
Di Malang dia bisa mendapatkan kebebasan yang sebenarnya.
Setidaknya jauh berbeda seratus delapan puluh derajat dari hidupnya di “Penjara
Bebas”. Hal – hal yang tak pernah ia lakukan di kota kelahirannya dulu, dia
lakukan di Malang. Dia bermain kesana kemari bersama teman – teman kuliahnya,
berkenalan dengan banyak orang dan mendapatkan pengalaman – pengalaman baru
tentang dunia yang ia dapatkan justru ketika tidak berada di rumahnya sendiri.
Pikirannya tidak lagi buntu jika ia menginjakkan kaki di Kota Bunga itu.
* * *
Ana, teman kuliahnya pernah menanyakan suatu hal
kepadanya.
“Kamu sudah pernah bermain ke kota mana saja, Ta ?” tanya Ana.
“Malang,”jawabnya.
“Sudah jelas la, Ta. Ini kan tempatmu kuliah. Maksudku kota lainnya.”
“Jember, saat aku masih kelas satu SD.”
“Lainnya ?”
“Situbondo dan Probolinggo saat kita magang disana.”
“Surabaya tidak pernah ?”
“Lumayan sering.”
“Kalau Jogja bagaimana ?”
“Tidak pernah.”
Ana terbelalak kaget. Matanya yang lebar terbuka seperti
akan mencengkeram dirinya yang duduk tepat di depannya.
“Bagaimana mungkin tidak pernah ? Semua orang pernah
kesana. Kamu tidak ingin kesana ?” tanya Ana lagi.
“Ingin sekali. Kudengar dari banyak orang, Jogja itu
tempat yang menyenangkan, disana ada banyak pentas – pentas seni dan pameran
seni budaya, bukan ? Aku juga sudah pernah melihat Candi Prambanan dan
Borobudur dari internet,”jawabnya polos.
“Lebih dari yang kamu tahu dari orang – orang dan
internet, Tata.”kata Ana. “Lalu bagaimana dengan Bali ? Kamu tentu sudah pergi
kesana, bukan ? Rumahmu kan dekat dengan Pulau Bali.”
“Pernah ke Gilimanuk saat masih TK.”
Ana kembali menepuk jidatnya sendiri. Dia tahu Ana pasti
akan mengatakannya anak tidak gaul, anak terkungkung, selalu menolak ajakan
teman dan anak yang tidak tahu dunia luar.
Tidak, dia tidak seperti yang Ana pikirkan. Dia sudah
sejak lama ingin pergi kesana kemari. Bahkan dia sangat tahu dan paham tentang
nasehat – nasehat yang mengatakan ,”Percuma saja kau pintar bila tak tahu dunia
luar” atau beberapa hari yang lalu setelah Ana menanyakan ini dan itu, sebuah
cerita Soe Hok Gie yang pada akhirnya wafat di Mahameru menjadi perbincangan
hangat teman – teman kampusnya atau dosennya yang mengatakan,”Habiskanlan waktu
di luar anak muda, jangan hanya berani dikandang.” Ya ! Dia sangat tahu dan
teramat sangat paham ! Bahkan dia juga memiliki keinginan besar untuk
melanglang buana memeluk Indonesia dan dunia.
Tapi, penghambatnya adalah uang !
* * *
Dia duduk sendiri di teras rumahnya pagi itu. Banyuwangi
yang mendung berhari – hari lamanya. Sudah pukul delapan pagi tetapi hari masih
seperti pukul enam pagi. Biasanya pukul tujuh pagi saja Banyuwangi sudah panas.
Ah sejuknya pagi ini, pikirnya.
Dia memikirkan lagi ajakan Ana untuk pergi ke Jogkarkarta
dan penolakan ibunya tentang keinginannya pergi berlibur bersama teman –
temannya. Dia berpikir dan terus berpikir hingga kepalanya pening rasanya. Dia
tak punya banyak uang seperti teman – temannya yang lain. Dia juga belum
bekerja. Kedua orang tuanya saja harus bekerja siang dan malam untuk biaya
kuliahnya selama empat tahun ini. Bagaimana mungkin dia akan menghabiskan uang
jutaan rupiah hanya untuk berlibur ke Singapura selama tiga hari ? Atau empat
hari di Bali ? Bagaimana mungkin dia menghabiskan uang ratusan ribu rupiah
untuk dua hari di Jogjakarta dan Bandung ? Sedangkan disini kedua orang tuanya
semakin keriput, kurus dan penyakitan ?
Di dalam hatinya dia telah memiliki jawaban atas hatinya
yang resah selama ini. Dia masuk kedalam kamar yang bercat kuning dan memutar
lagu – lagu jazz kesukaannya. Sementara dia membaringkan tubuhnya diatas tempat
tidur berseprai kuning. Matanya menatap langit – langit kamar yang penuh dengan
sarang laba – laba. Bukankah akan lebih menyenangkan bila kebahagiaan akan
terbayarkan setelah adanya kesabaran panjang ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar