Sample Text

Pages

Rabu, 12 Maret 2014

Ibu, Aku Ingin ke Jogjakarta

oleh : Indah Hikmayanti

Matanya kosong menatap langit – langit kamarnya yang penuh dengan sarang laba – laba. Tubuhnya yang semakin hari semakin kurus membentuk sebuah bintang yang besar diatas tempat tidur berseprai kuning. Dia berpikir. Satu persatu dia mencerna apa yang ada dipikirannya. Bahkan dia juga tidak tahu apa saja benda – benda asing yang ada dipikirannya ini. Ribuan bahkan milyaran. Bergelantungan seperti sarang laba – laba yang ada di langit – langit kamarnya.
Tadi pagi sahabatnya mengirimkan pesan. Sahabatnya mengajaknya untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Siapa yang tidak ingin pergi berlibur, ke Jogjakarta pula. Kota yang dia idamkan untuk menjadi kota perantauan selanjutnya setelah Malang. Dia mendambakan Jogja karena di dalam pikirannya Jogja adalah kota budaya. Betapa dia sangat mencintai kesenian dan budaya. Ya, dia sangat ingin menerima tawaran sahabatnya tersebut. Terlebih sang sahabat merayunya dengan tiket murah sudah termasuk biaya makan, transportasi dan penginapan. Siapa yang tidak tertarik ? Untuk berbelanja, masuk tempat – tempat wisata dan biaya – biaya lainnya seperti sakit, biaya emergency dan kemungkinan – kemungkinan lainnya akan lain lagi ceritanya.
Dia menanyakan perihal keinginannya untuk berlibur ke Jogjakarta kepada ibunya.
“Bu, Ana tadi pagi ngajakin liburan ke Jogja,” katanya.
“Terus ? Ikut saja kalau kamu punya uang,”jawabnya ibunya sambil meneguk segelas air putih.
“Belum punya lah, bu,”katanya lagi.
“Berapa ? Dibayarin nggak ?”
:Nggak lah, bu. Mana ada. Tria juga ngajak ke Bandung, katanya kemungkinan delapan ratus.”
“Mahal. Ibu nggak punya uang untuk hal – hal seperti itu. Buat SPP kamu saja masih ngumpulin,”kata ibunya sambil berlalu.
“Tapi ke Jogja cuma seratus enam puluh lima, bu,”kata dia semakin pelan di akhir kalimat karena ibunya berlalu begitu saja tanpa mendengarkan perkataannya.
Dia tahu ibunya sama sekali tidak menyetujui perihal keinginannya untuk pergi berlibur ke Jogjakarta. Pikirannya semakin kalut dan harus bagaimana lagi merayu orang yang paling berjasa dalam hidupnya tersebut ?
Ada rasa yang meluap – luap didalam hatiya. Dia sedikit tidak bernafsu melihat ibunya karena keinginannya tidak dikabulkan. Ini bukan untuk pertama kalinya tapi untuk kesekian kalinya. Dia hidup ditempat yang ia beri nama “Penjara Bebas”. Bagaimana tidak ? Delapan belas tahun lamanya dia terkungkung di rumah saja tanpa diperbolehkan berlibur atau menikmati pemandangan luar sedikitpun. Dia hanya diperbolehkan keluar jika sekedar untuk bersekolah, belajar kelompok, bermain sebentar ke rumah teman atau membeli beras jika ibunya menyuruhnya saja.
Dia masih ingat saat teman – teman sekolahnya sedang gempar – gemparnya bercerita soal study tour ke Jogja dan Malang dengan mengendarai bus pariwisata bersama dengan rombongan guru. Dia hanya diam di pojok kelas sendirian sambil membaca komik. Dia tidak paham apa yang diceritakan oleh teman – temannya tentang Candi Borobudur, Candi Prambanan, Malioboro dan tempat – tempat wisata lainnya di Jogjakarta. Bahkan dia tidak mengetahui tentang Malang. Yang ia tahu hanya Jatim Park, itu pun dia tahu dari saudara sepupunya yang sering berlibur ke Jatim Park dan sering mengajaknya namun selalu ia tolak.
Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk belajar ke luar kota, Malang tempatnya. Itupun jika tidak ada iming – imingan dari tetangga yang bercerita tentang anak – anak mereka yang sukses karena kuliah di luar kota ibunya tidak akan mau. Karena iming – imingan dari tetangga itu lah akhirnya ibunya menyetujui keputusannya untuk kuliah di Malang. Harusnya dia berterima kasih kepada tetangga – tetangganya yang secara tidak langsung membebaskannya dari “Penjara Bebas”. Dia juga tidak tahu jelas apa alasan ibunya tiba – tiba saja menyetujui keputusan untuk kuliah di Malang. Kuliah berbeda dengan liburan yang hanya sehari atau dua hari saja, kuliah memakan waktu sedikitnya empat tahun lamanya. Entah hal itu benar – benar karena keinginan ibunya agar anaknya nanti bisa bekerja lebih baik dari dirinya atau karena tidak mau kalah dengan tetangga – tetangganya ?
Di Malang dia bisa mendapatkan kebebasan yang sebenarnya. Setidaknya jauh berbeda seratus delapan puluh derajat dari hidupnya di “Penjara Bebas”. Hal – hal yang tak pernah ia lakukan di kota kelahirannya dulu, dia lakukan di Malang. Dia bermain kesana kemari bersama teman – teman kuliahnya, berkenalan dengan banyak orang dan mendapatkan pengalaman – pengalaman baru tentang dunia yang ia dapatkan justru ketika tidak berada di rumahnya sendiri. Pikirannya tidak lagi buntu jika ia menginjakkan kaki di Kota Bunga itu.
* * *
Ana, teman kuliahnya pernah menanyakan suatu hal kepadanya.
“Kamu sudah pernah bermain ke kota mana saja, Ta ?” tanya Ana.
“Malang,”jawabnya.
“Sudah jelas la, Ta. Ini kan tempatmu kuliah. Maksudku kota lainnya.”
“Jember, saat aku masih kelas satu SD.”
“Lainnya ?”
“Situbondo dan Probolinggo saat kita magang disana.”
“Surabaya tidak pernah ?”
“Lumayan sering.”
“Kalau Jogja bagaimana ?”
“Tidak pernah.”
Ana terbelalak kaget. Matanya yang lebar terbuka seperti akan mencengkeram dirinya yang duduk tepat di depannya.
“Bagaimana mungkin tidak pernah ? Semua orang pernah kesana. Kamu tidak ingin kesana ?” tanya Ana lagi.
“Ingin sekali. Kudengar dari banyak orang, Jogja itu tempat yang menyenangkan, disana ada banyak pentas – pentas seni dan pameran seni budaya, bukan ? Aku juga sudah pernah melihat Candi Prambanan dan Borobudur dari internet,”jawabnya polos.
“Lebih dari yang kamu tahu dari orang – orang dan internet, Tata.”kata Ana. “Lalu bagaimana dengan Bali ? Kamu tentu sudah pergi kesana, bukan ? Rumahmu kan dekat dengan Pulau Bali.”
“Pernah ke Gilimanuk saat masih TK.”
Ana kembali menepuk jidatnya sendiri. Dia tahu Ana pasti akan mengatakannya anak tidak gaul, anak terkungkung, selalu menolak ajakan teman dan anak yang tidak tahu dunia luar.
Tidak, dia tidak seperti yang Ana pikirkan. Dia sudah sejak lama ingin pergi kesana kemari. Bahkan dia sangat tahu dan paham tentang nasehat – nasehat yang mengatakan ,”Percuma saja kau pintar bila tak tahu dunia luar” atau beberapa hari yang lalu setelah Ana menanyakan ini dan itu, sebuah cerita Soe Hok Gie yang pada akhirnya wafat di Mahameru menjadi perbincangan hangat teman – teman kampusnya atau dosennya yang mengatakan,”Habiskanlan waktu di luar anak muda, jangan hanya berani dikandang.” Ya ! Dia sangat tahu dan teramat sangat paham ! Bahkan dia juga memiliki keinginan besar untuk melanglang buana memeluk Indonesia dan dunia.  Tapi, penghambatnya adalah uang !
* * *
Dia duduk sendiri di teras rumahnya pagi itu. Banyuwangi yang mendung berhari – hari lamanya. Sudah pukul delapan pagi tetapi hari masih seperti pukul enam pagi. Biasanya pukul tujuh pagi saja Banyuwangi sudah panas. Ah sejuknya pagi ini, pikirnya.
Dia memikirkan lagi ajakan Ana untuk pergi ke Jogkarkarta dan penolakan ibunya tentang keinginannya pergi berlibur bersama teman – temannya. Dia berpikir dan terus berpikir hingga kepalanya pening rasanya. Dia tak punya banyak uang seperti teman – temannya yang lain. Dia juga belum bekerja. Kedua orang tuanya saja harus bekerja siang dan malam untuk biaya kuliahnya selama empat tahun ini. Bagaimana mungkin dia akan menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk berlibur ke Singapura selama tiga hari ? Atau empat hari di Bali ? Bagaimana mungkin dia menghabiskan uang ratusan ribu rupiah untuk dua hari di Jogjakarta dan Bandung ? Sedangkan disini kedua orang tuanya semakin keriput, kurus dan penyakitan ?

Di dalam hatinya dia telah memiliki jawaban atas hatinya yang resah selama ini. Dia masuk kedalam kamar yang bercat kuning dan memutar lagu – lagu jazz kesukaannya. Sementara dia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur berseprai kuning. Matanya menatap langit – langit kamar yang penuh dengan sarang laba – laba. Bukankah akan lebih menyenangkan bila kebahagiaan akan terbayarkan setelah adanya kesabaran panjang ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar